Kegagalan Timnas Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026 setelah dua kekalahan telak di ronde keempat kualifikasi telah memicu gelombang kritik terhadap Patrick Kluivert pelatih asal Belanda yang ditunjuk pada Januari 2025 untuk menggantikan Shin Tae-yong dengan harapan membawa angin segar bagi sepak bola nasional. Meskipun Kluivert memiliki karir gemilang sebagai pemain dengan gol-gol ikonik di Barcelona dan timnas Belanda pengalaman kepelatihannya yang terbatas di level internasional membuatnya tampak tidak siap menghadapi kompleksitas sepak bola Asia di mana faktor fisik mental dan taktik harus selaras sempurna. Catatan buruk dengan hanya tiga kemenangan dari delapan laga menunjukkan bahwa visi Kluivert yang berfokus pada permainan possession tinggi belum mampu menutupi kelemahan pertahanan timnas yang sering kebobolan dari situasi bola mati atau serangan balik cepat lawan.
Kritik tajam datang dari media Belanda yang secara eksplisit memberi cap “tak layak” bagi Kluivert dan stafnya dalam menangani timnas negara berkembang seperti Indonesia karena kurangnya pemahaman tentang dinamika kompetisi Asia yang berbeda dari Eropa. Kluivert yang sebelumnya melatih timnas CuraƧao di kualifikasi CONCACAF gagal menerapkan pelajaran tersebut di sini di mana cuaca tropis dan jadwal padat memerlukan rotasi pemain yang lebih dinamis bukan formasi kaku 4-3-3 yang rentan terhadap pressing tinggi. Hal ini terlihat jelas dalam pertandingan melawan Arab Saudi di mana Timnas mendominasi penguasaan bola tapi gagal memanfaatkan peluang karena kurangnya kreativitas di lini tengah yang seharusnya menjadi kekuatan utama dengan pemain seperti Thom Haye atau Marc Klok. Selain itu komentar berkelas Kluivert pasca-kekalahan justru terdengar seperti pengakuan implisit atas keterbatasan dirinya yang tidak mampu membangun chemistry tim dalam waktu singkat sehingga menimbulkan keraguan akan komitmen jangka panjangnya.
Dari sisi finansial gaji fantastis Kluivert menjadi isu sensitif karena dana tersebut seharusnya mendukung program pembinaan usia muda atau fasilitas latihan yang masih tertinggal dibandingkan negara tetangga. PSSI yang di bawah Erick Thohir berupaya membangun ekosistem sepak bola berkelanjutan justru terhambat oleh pilihan pelatih yang lebih mengandalkan reputasi daripada rekam jejak relevan sehingga talenta lokal seperti pelatih muda berlisensi AFC terpinggirkan. Pendekatan Kluivert yang lambat dalam mengadopsi data analitik modern untuk scouting pemain juga menjadi kelemahan fatal di era sepak bola data-driven di mana tim seperti Jepang atau Korea Selatan unggul berkat integrasi teknologi. Akibatnya pemain Indonesia yang berbakat di liga domestik seperti Egy Maulana Vikri merasa kurang dimanfaatkan karena prioritas Kluivert pada naturalisasi yang tidak selalu sinergis dengan gaya bermain kolektif timnas.
Secara keseluruhan mempertahankan Kluivert berisiko memperpanjang stagnasi sepak bola Indonesia yang membutuhkan pelatih visioner mampu menggabungkan disiplin Eropa dengan semangat Asia seperti yang ditunjukkan oleh pelatih sukses di klub-klub SEA. Bicara soal masa depan Kluivert yang samar-samar menunjukkan ketidakpastian ini menjadi momentum bagi PSSI untuk beralih ke figur lokal atau hybrid yang lebih paham akar rumput. Dengan evaluasi tim pelatih yang sedang berlangsung diharapkan perubahan ini bisa membawa Garuda ke level yang lebih kompetitif di AFF Cup atau kualifikasi berikutnya untuk menghindari pengulangan kegagalan yang merugikan citra nasional.