Konflik perdagangan antara Amerika Serikat dan China yang semakin memanas sejak tahun 2018 telah mengubah lanskap ekonomi dunia secara dramatis. Tarif impor yang saling diberlakukan oleh kedua raksasa ekonomi ini tidak hanya memukul perdagangan bilateral mereka tetapi juga menciptakan riak yang menyebar ke negara-negara ketiga termasuk Indonesia. Sebagai anggota aktif dalam ASEAN dan mitra dagang utama kedua negara Indonesia menghadapi efek langsung yang mencakup perubahan pola ekspor impor serta dinamika investasi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendesak tentang bagaimana Indonesia bisa menavigasi tantangan ini untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional. Melalui tinjauan komprehensif kita dapat melihat bagaimana perang dagang tersebut memengaruhi sektor-sektor kunci seperti manufaktur pertanian dan jasa secara langsung.
Efek pertama yang paling nyata adalah diversifikasi perdagangan yang dipicu oleh efek pengalihan. Ketika China menghadapi tarif tinggi dari Amerika Serikat terhadap produknya seperti mesin dan peralatan listrik Indonesia mendapat kesempatan untuk mengisi kekosongan tersebut di pasar Amerika Serikat. Ekspor furnitur kayu dan produk tekstil dari Indonesia ke Amerika Serikat meningkat sekitar 12 persen pada tahun 2019 karena pembeli di sana mencari alternatif murah dari Asia Tenggara. Hal ini memberikan dorongan langsung bagi industri furnitur di Jawa Timur dan tekstil di Jawa Tengah yang sebelumnya kesulitan bersaing dengan China. Namun pengalihan ini juga membawa risiko karena ketergantungan pada permintaan Amerika Serikat yang fluktuatif sehingga menyebabkan volatilitas harga domestik. Di sisi lain impor dari China ke Indonesia seperti komponen elektronik menjadi lebih murah sementara karena China menumpuk stok untuk menghindari tarif lebih lanjut meskipun hal ini memicu kekhawatiran tentang kualitas dan keamanan produk.
Sektor pertanian Indonesia juga merasakan hantaman langsung dari konflik ini terutama melalui kenaikan harga input impor. Tarif balasan China terhadap kedelai dan daging sapi dari Amerika Serikat menyebabkan harga kedelai global melonjak hingga 20 persen yang berdampak pada biaya pakan ternak di Indonesia. Peternak ayam dan sapi di Sumatera Utara dan Jawa Barat menghadapi tekanan biaya produksi yang lebih tinggi sehingga harga daging naik dan daya beli masyarakat menurun. Akibatnya konsumsi protein hewani domestik turun sekitar 5 persen pada periode 2019-2020 yang memperburuk ketahanan pangan nasional. Meskipun ada peluang ekspor buah tropis seperti nanas dan mangga ke China yang meningkat karena permintaan pengganti dari Amerika Serikat manfaatnya terbatas hanya pada petani besar di Kalimantan sementara petani kecil tetap kesulitan mengakses pasar ekspor. Efek ini menekankan pentingnya diversifikasi sumber impor pangan untuk mengurangi kerentanan terhadap guncangan eksternal.
Investasi dan rantai pasok menjadi arena lain di mana dampak langsung terlihat jelas. Perang dagang mendorong perusahaan-perusahaan China untuk mendiversifikasi basis produksinya ke luar negeri dengan Indonesia sebagai tujuan utama berkat insentif pajak dan kemudahan perizinan yang ditawarkan pemerintah. Sektor otomotif dan elektronik menerima suntikan modal signifikan dengan pembangunan pabrik baru di Bekasi dan Karawang yang menciptakan ribuan lapangan kerja langsung. Nilai investasi dari China ke Indonesia naik 30 persen pada tahun 2020 dibandingkan baseline sebelum konflik meskipun sebagian besar mengalir ke proyek-proyek besar yang memerlukan teknologi tinggi. Namun gangguan rantai pasok global juga menyebabkan keterlambatan pengiriman komponen dari China ke pabrik-pabrik Indonesia sehingga produktivitas industri turun sekitar 3 persen di sektor manufaktur. Hal ini memaksa perusahaan lokal untuk mencari pemasok alternatif dari Vietnam dan India yang justru menambah biaya logistik dan waktu produksi.
Dari perspektif keuangan efek langsung perang dagang ini terwujud dalam tekanan terhadap pasar modal dan nilai tukar. Indeks Harga Saham Gabungan mengalami fluktuasi tajam dengan penurunan hingga 4 persen pada hari-hari pengumuman tarif baru karena investor asing menarik portofolio mereka dari emerging markets. Rupiah melemah secara konsisten terhadap dolar dan yuan yang membuat utang luar negeri pemerintah dan swasta lebih mahal untuk dibayar. Inflasi impor naik karena harga minyak dan bahan baku global yang terpengaruh oleh ketidakpastian perdagangan sehingga Bank Indonesia harus menyesuaikan kebijakan moneter dengan hati-hati. Sektor jasa seperti pariwisata juga terdampak secara tidak langsung meskipun bukan target utama karena penurunan pendapatan dari wisatawan China yang merupakan segmen terbesar dengan jumlah kunjungan turun 15 persen akibat pembatasan perjalanan dan kekhawatiran ekonomi.